Polisi Karawang Tetapkan Tiga Pelaku sebagai Tersangka Kasus Pemerkosaan Anak Yatim
Setelah viral di media sosial, Polres Karawang akhirnya menetapkan tiga tersangka dalam kasus pemerkosaan terhadap seorang anak yatim berinisial K (15) yang terjadi di GOR Adiarsa, Kecamatan Karawang Barat.
Kasat Reskrim Polres Karawang, AKP M. Nazal Fawwaz, mengungkapkan bahwa keterlambatan penanganan kasus ini disebabkan oleh jeda waktu antara kejadian yang terjadi pada Agustus 2024 dan laporan yang baru masuk pada Oktober 2024.
Begitu laporan kami terima, penyelidikan langsung dilakukan. Saat ini, tiga tersangka telah ditetapkan, yaitu A dan M yang masih di bawah umur, serta L yang berusia dewasa, ujar Nazal, Jumat kemarin,(7/3/2025).
Ia menjelaskan bahwa penyelidikan difokuskan pada pengumpulan alat bukti guna memperkuat kasus. Menurutnya, jika laporan lebih cepat disampaikan dan bukti segera dikumpulkan, proses penindakan pun bisa dilakukan lebih cepat.
“Karena kasus ini melibatkan anak di bawah umur, kami sangat berhati-hati dalam penyelidikan dengan mempertimbangkan kondisi psikologis korban,” tambahnya.Nazal juga membantah tudingan bahwa kasus ini sempat mandek. Ia menegaskan bahwa pihak kepolisian terus berkoordinasi dengan korban dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mendampingi korban selama proses hukum berjalan.
“Jika ada anggapan bahwa kasus ini mandek, itu tidak benar. Kami selalu berkomunikasi dengan baik dan terus menangani kasus ini sesuai prosedur,” tegasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sebelum kasus ini ramai diperbincangkan, penyidik telah melakukan gelar perkara dan menaikkan status kasus ke tahap penyidikan Selain itu, pihak kepolisian juga telah memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada keluarga korban sebagai bentuk transparansi dalam penanganan perkara.
"Saat ini, ketiga tersangka telah resmi ditetapkan dan akan menjalani proses hukum hingga persidangan. Untuk masyarakat, mari kita kawal bersama agar para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal," tandasnya,dikutip dar INews.
Sebelumnya, kasus rudapaksa terhadap anak yatim yang masih duduk dibangku sekolah SMP berinisial K di Karawang berbuntut panjang. Mirisnya lagi, setelah menjadi korban rudapaksa oleh 3 pemuda sampai hamil 7 bulan, korban K justru harus dihadapkan persoalan lain, yakni dikeluarkan dari sekolahnya.
Orang tua korban, Dwi mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan pihak sekolah yang meminta anaknya menandatangani surat pengunduran diri.
“Saya tadinya berharap anak saya masih bisa bersekolah di situ, walaupun secara online. Tapi pihak sekolah meminta saya menandatangani surat pengunduran diri dan malah menyuruh saya mendaftarkan anak ke sekolah paket,” ungkap Dwi.
Bahkan, kata Dwi, pihaknya malah diberikan nomor kontak guru sekolah paket dari pihak sekolah, seolah sudah ada skenario bahwa anaknya tidak bisa lagi bersekolah secara reguler.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Sekolah Nedi Somantri membantah adanya paksaan atau intimidasi terhadap korban dan keluarganya.
Ia menyatakan bahwa pengunduran diri dilakukan atas permintaan orang tua korban sendiri.
“Saat itu, orang tua korban ingin memindahkan anaknya ke Jawa, karena itu kami meminta K untuk menandatangani surat pengunduran diri. Jadi tidak ada tindakan intimidatif,” ujar Nedi.
Namun, pernyataan berikutnya memunculkan kontroversi. Nedi menyinggung bahwa kasus pemerkosaan ini berkaitan dengan pergaulan korban.
“Biar objektif, bawa saja korban dan orang tua korbannya ke sini. Walaupun korban pemerkosaan, itu kan pergaulan. Siapa yang menjebak? Bawa pelakunya sekalian ke sini,” tegasnya.
Nedi juga mengaku tidak mengetahui secara pasti proses pengeluaran siswa dari sekolah. Ia menyebut bahwa setiap keputusan sekolah harus melalui prosedur yang jelas, seperti pemberian Surat Peringatan (SP) sebelum seorang siswa dikeluarkan.
Sementara itu, Plt Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Karawang, Cecep Mulyawan, mengakui bahwa pihak sekolah memang telah melaporkan pengunduran diri K.
“Dari kepala sekolah sendiri sudah melaporkan ke dinas bahwa siswa itu (sebenarnya) mengundurkan diri. Ada buktinya, fotokopinya juga sudah disampaikan ke saya. Mungkin karena malu atau alasan lain,” terang Cecep.
Namun, ia menegaskan bahwa kesempatan belajar tetap terbuka bagi K. Jika tidak memungkinkan untuk kembali ke sekolah secara langsung, pembelajaran jarak jauh (PJJ) bisa menjadi solusi.
“Ya bisa saja dilakukan, seperti saat COVID-19 dulu. Kepala sekolahnya juga sudah menyatakan ke saya, kalau mau pembelajaran jarak jauh ya silakan,” katanya.
Meski demikian, ia menyadari bahwa kembali bersekolah baik secara langsung maupun daring bisa menjadi tantangan tersendiri bagi K mengingat kasusnya sudah tersebar luas di masyarakat (*).